S
OLO synth Riza Arshad (piano, synth) membuka pertunjukan (02/10/04) dengan repertoar “One Has To Be” (album "Baur") yang sering dipilih untuk tampil live, termasuk saat diberi spot hanya satu lagu di Impressario – RCTI. Saat tampil di TV tersebut, Riza hanya memakai akordeon alih-alih piano, sedangkan salah satu pembeda dari versi rekaman “1 Has To Be” kali ini adalah formasi simakDialog sendiri: minus drums. Formasi terakhir ini sempat pula berpentas di Bandung (Bale Pare, 11/03/04) pada acara Sunday Jazz Corner – FH Unpar.

Endang Ramdan (kendang, perkusi) menampilkan pukulan yang tidak lazim digunakan pada permainan kendang, maupun menyengaja untuk memainkan ritme yang sudah ada pakemnya sejak tradisi Ketuk Tilu dan tari-tarian turunannya. Tidak lazim & kebaruan merupakan salah satu ciri (untuk tidak menyebut syarat) karya kontemporer. Endang pun berani memukul ketug kuat-kuat dengan stik keras (bukan bentuk mallet lembut yang sudah jadi pasangannya) untuk membangunkan pengalaman kering-kerontang pada lagu “Kemarau”. Bukan hanya soal teknik & eksplorasi bunyi tak lazim, Tohpati juga sempat memainkan melodi solo yang serupa dengan dialing telefon pada gitarnya. Ketiadaan cymbal juga mengharuskan aksen crash yang mengakhiri/membagi lagu (dalam wajarnya format band ber-drums) dihasilkan dengan cara lain.

Cuk (ukulele) dan Cello yang dipetik ibu jari (bukan digesek) merupakan aksesori orkes keroncong moderen. Terinspirasi keroncong, "Unfaded Hopes" (diambil dari album "Trance/mission") membalikkan lagi fungsi ritmik Cello tersebut kembali ke kendang, Cello tadinya menggantikan efek kendang yang dipakai pada bentuk orisinal keroncong (terpengaruh langgam Jawa/gamelan). Sayang strumming "cuk cak" yang sepertinya wajib untuk "keroncongan" tidak direproduksi saat pentas live ini, kita hanya tahu kalau mendengar lagu ini dari albumnya.

Interplay yang berlangsung, terlebih saat Endang diberi kesempatan solo di lagu "Worth Seeing", tidak terjebak pada perkawinan tradisi-modern yang semu: salah satu mengalah terlalu banyak, misalnya jika Riza didominasi laras pelog dalam 'menemani' Endang. Slip of tongue tetap ada laiknya sebuah percakapan, Tohpati mendului rekan-rekannya beberapa birama di tengah intro lagu "Zaman T'lah Berganti". Tanpa sempat kebablasan, mereka cukup saling tersenyum & tidak ada yang perlu minta maaf. Interaksi simakDialog memang telah melewati tiga album dan lagu tadi ada di album pertama ("Lukisan"). Beberapa judul yang dimainkan malam itu tidak akan ditemui pada album-album simakDialog yang telah edar karena memang belum direkam dan akan menjadi isi album ke empat. Akan tetapi, nomer-nomer tersebut sudah pernah dimainkan formasi terakhir ini beberapa kali termasuk saat diundang ke Kathmandu Jazz Festival 2004. Pada album ke empat nanti, Adhitya Pratama (bass) direncanakan akan mengisi penuh. Adhit telah terlibat sejak album ke tiga ("Trance/mission"). Sebagai catatan, bocoran album ke empat yang dimainkan pada konser ini adalah: "Spur of The Moment", "Worth Seeing", dan "Kemarau".

Terlihat & terdengar, set kendang yang dipakai malam itu memang sedikit berbeda dengan ketika kali terakhir tampil di Bandung. Endang mengkonfirmasi, kali ini memang masih dengan "steman" Sunda, hanya saja, karena tuntutan bermain di nada-nada rendah, pitch-nya diturunkan sehingga diperoleh aksen bass yang lebih boomy. Sayang sekali, "Bright Tomorrows" tidak jadi dimainkan (kalau kita mengintip playlist, lagu itu disiapkan sebagai encore), padahal lagu itu dapat melengkapi keutuhan pernyataan "siapa kami (simakDialog)". Terlebih, setelah dua jam penonton yang letih tentu butuh lagu yang ramah. Ini pernah dibuktikan dengan respon penonton terhadap encore tersebut di panggung Bale Pare terdahulu.

Wujud kepedulian yang tidak main-main turut diberikan simakDialog dengan menjual pula re-versi "krismon" dari album "Trance/mission" (Rp 25000), serupa dengan packaging "Riza Arshad - Trioscapes" yang juga terjangkau untuk banyak kalangan. Danny Ardiono juga khusus dibawa sebagai sound engineer, salah satu dari sekian perhatian simakDialog terhadap profesionalisme. Masih setia dengan cita-cita memainkan jazz sebagai “orang Indonesia”, Riza tidak keberatan simakDialog dilabeli world music sekalipun. Buatnya, kejujuran permainan masih lebih penting, tidak dipungkirinya: ada perbedaan soal kategorisasi dan kesepakatan label-label seperti itu. Jika kita tidak perlu menyebut adult contemporary progressive jazz, sebut saja terjemahan English simakDialog: to listen carefully to the dialogue.

***

Konser ini diorganisasikan oleh Klab Jazz yang bermula dari aktivitas mingguan Toko Buku Kecil Bandung. Selasar Sunaryo Art Space yang menjadi venue baru kali ini menggelar acara jazz. Pertunjukan berlangsung di udara terbuka Sanggar Luhur - Selasar Sunaryo yang berbentuk amphitheatre. Klab Jazz sendiri tidak bermaksud untuk hanya berhenti di sini, akan dicoba lagi program serupa di masa depan. Opening act yang diundang Klab Jazz pada konser simakDialog ini adalah Krishnan Mohamad Project yang terdiri dari Krishnan Mohamad (acoustic/electric nylon guitar), Nia (violin), Tiwi (vokal, akordeon), dan Hengki (drums).

appears in: http://www.wartajazz.com/news/news041004.html


This page is powered by Blogger    Powered by VLSI