J
IKA Arief memberi intro “Baritone Funk”, maka Yoyon mengubahnya menjadi “Tarompet Funk” ketika bertugas mengawal solo Arief. Tarompet tradisional meliuki tekstur bebop : kalaupun secara scale mustahil - alat tiup yang sudah dipatok ini – mengeja harmonisasi ‘barat' yang utuh, Yoyon mampu memainkan ide-ide yang khas dalam improvisasi saksofon. Meniup kuat untuk memaksa tercapainya pitch yang tinggi, mengulang-ngulang frase pendek dengan cepat, hingga meliak-liuk cerewet, semua diimitasi alat yang berbatas ini.

Bahkan untuk menembus batas, satu per satu bagian tarompet ini dipreteli: mula-mula pipa tempat jemari Yoyon Darsono beraksi menutup/membuka lubang udara untuk menghasilkan nada tertentu, kemudian sambungannya, hingga akhirnya hanya tersisa mouthpiece . Arief Setiadi pun turut dalam tantangan rekan dialognya di panggung: di akhir interplay Yoyon-Arief hanya tersisa bagian berbilah dari baritone sax yang dipakainya. Sebagai atraksi yang menghibur penonton, di bagian penghujung ini mereka meniru percakapan sehari-hari, intonasi ‘ nyarios Sunda' (= mengobrol dalam bahasa Sunda) oleh dua peniup handal bak aki-nini (= kakek-nenek) bertegur sapa di kampung.

Konser Rabu malam (8/02/'06) kurang lebih menggambarkan tema album “2- Worlds” yang secara umum adalah kolaborasi yang funky . Misalnya komposisi “Baritone Funk” yang dimainkan di atas pola ritme yang diberikan oleh baritone sax di intro lagu. Tema yang sama direkam dalam album tersebut bersama saksofonis Carlo Actis Dato masih dengan judul serupa “Actis Baritone Funk”. “Bunga Tembaga” yang dibangun groove ‘vokal Ubiet fretless bass Pra Budidharma ', juga kental irama funk . Dalam ornamentasi yang dilakukannya terhadap lirik lagu yang berasal dari Pulau Rote tersebut, Ubiet tetap konsisten mem-pola beat. Kesan funk juga diperkuat masih adanya peran drum konvensional di grup ini yang dimainkan Gerry Herb . Maka pada konser ini disisipkan pula sesi solo Ade-Gerry sebagai ujung tombak tetabuhan Krakatau. Solo ini menyambung lagu “Rhythm Talks” (belum direkam), menampilkan permainan suling bambu Yoyon dan suling piccolo Arief.

Teuku Rafly tampil penuh dalam nomer “Menjemput Harapan” dan “Nyopat”. Garapan “Nyopat” (lagi-lagi funky ) menampilkan warna Rafly yang berbeda dengan Ubiet, ia memberikan hentak/tekanan putus-putus ( staccato yang biasa kita dengar ketika meyaksikan tari Saman) dengan kadang mengakhiri rangkaiannya dengan lengkingan haru orang ber-didong (kesenian Gayo). Semuanya dilantunkan dalam interval nada yang tinggi untuk seorang laki-laki. Rafly mungkin lebih spesifik Aceh ketimbang Ubiet yang mendalami vokal ke banyak orang dalam tradisi lain. Kedekatannya belakangan ini dengan Krakatau agaknya karena penggarapan album “Meukeondro” yang diproduseri Dwiki-Ubiet. Sebelumnya, sebagai vokalis juga, Ubiet telah mencoba lebih dulu memperkenalkan khazanah vokal Aceh ke khalayak luas lewat membuat album. Jika dilihat lebih global, versi vokalis ‘berornamen' yang sukses secara komersial adalah Youssou N'Dour.

“Tareek Pukat” (lagu Aceh tentang memancing ikan dengan jala) kembali menampilkan Rafly dan Ubiet. Dwiki Darmawan menyandang synthesizer berbunyi akordeon membuka dengan solo Melayu-an. Seperti tari Saman, tempo lagu terus dipercepat hingga klimaks. Klimaks penutupan yang serupa dapat didengar pada nomer “Double Bands” di album “2-Worlds”. Nomer penutup konser “Rhythms of Reformation” menampilkan duet Ade Rudiana - Zainal Arifin . Aksi akrobatik rampak kendang – yang wajarnya diselingi dengan humor slapstik – ini kembali diiringi oleh 12 siswa perkusi Farabi yang telah tampil membuka konser dalam “Premordial Dance” (dari album “Rhythms of Reformation”).

Sepanjang konser, selain memegang instrumen prinsipal masing-masing, tiap personil juga bergantian memainkan instrumen musik lainnya. Di nomer pamungkas, Dwiki bersolo dengan ceng-ceng Bali, sementara Pra dengan pemukulnya berada di seksi tetabuhan yang merupakan modifikasi gondang dan rebana. Malam itu, repertoar swing , fully improvise , dan balada tetap ada pada konser ini (ada “The Spirit of Freedom”, “Perahu”, dan “Uhang Jaeuh”). Dibanding rekamannya, komposisi-komposisi bervokal dengan lirik yang naratif sulit ditangkap penonton konser. Walaupun bahasanya memang bukan yang dimengerti setiap orang, tetap gaya pembawaanya menjauhkan dari kata-kata bermakna menjadi bunyi saja ( voice ).

appears in: http://www.wartajazz.com/news/ with editing by Agus


This page is powered by Blogger    Powered by VLSI