P |
Selain berkesempatan melihat prosesi –yang ini benar-benar prosesi: layar merah-putih raksasa terkembang, penabuh snare drums, gitar, trumpet, harmonika, puisi, seniman, AFI–, pidato duka resmi yang sukses dikutip adalah, “… sarjana dihasilkan tiap tahun, tetapi seniman itu dilahirkan…” Kata-kata itu –tampaknya belum disebut-sebut acara gosip ataupun berita koran– diucapkan Harry kepada sang ibu, untuk membesarkan hatinya, ketika ia memutuskan keluar dari kuliah sarjana teknik. Soal kuliah tekniknya itu ada yang menyebut Mesin ITB (1970-1975), ada yang menyebut Sipil ITB.
Persoalan “membesarkan hati” adalah persoalan akrobat sudut pandang. Begitu Putu Wijaya menyebutnya: akrobat, bukan sekedar berputar 180°, membalik, melambung atau jatuh dari ketinggian. Ia harus berterima kasih pada Rudjito (alm.) yang telah melakukan itu untuknya saat telah menyelesaikan kuliah hukum. Putu terpaksa “menyerahkan ijazah hukumnya” ke kedua orang tuanya; sebagai penukar profesinya yang sekarang. Padahal keduanya bukanlah orang mampu; menyekolahkan hingga gelar SH diraih adalah usaha keras, banting-tulang. Dalam keadaan sedih, ia bertemu Rudjito yang dengan enteng membesarkan hatinya, “Hukum… tidak harus diperjuangkan di meja hijau.” Terhenyak mendengarnya, Putu pun kemudian dapat berbesar hati; walaupun ia tidak akan mengatakan itu untuk orang tuanya –ada gap bahasa yang disebut idiom–, suasana hatinya yang membaik menyegarkan daya hidupnya, acrobatically.
Tentang membaca sudut pandang, kita bias meminjam tagline vendor solusi dokumen elektronik, Adobe Inc., “There’s more to Acrobat than Reader!”