S
UDAH dapat diduga sebelumnya, aksi protes terhadap taping ClasAkustik - ANTV. Acara ini belakangan mengambil tempat di kampus2 (sebelumnya venue yang dipakai adalah café/pub). Sering saya menyaksikannya (live performance memang selalu menarik, apapun musiknya), sempat juga bertanya-tanya, "Kapan giliran Bandung? Bakal di kampus mana?" Lebih jauh lagi, "Gimana, ya, cara mereka masuk kampus? Apa senatnya yang ikut ngorganisir?"

Dua tahun yang lalu, pentas Cokelat di hajatan besar HMIF juga menuai protes serupa. Situasinya juga persis: OSKM, yang pengennya jadi gerbang tansfer nilai, baru usai. Aksi itu berlangsung jauh terpisah di belakang penonton, jelas kalah dengan tata suara ribuan watt: acara tidak terganggu. Untuk yang beginian, tidak perlu ada komando, seperti refleks, cukup beberapa orang memulai yang lain langsung menyambut. Satu - dua orang dengan TOA berjalan, langsung ditanggapi: pengeras suara dari seke terdekat, tong sampah, kayu, api, orasi: semuanya happening. Memang sebelumnya telah ada selebaran 'kampusku munafik', tapi sekali lagi yang beginian lebih banyak spontannya. Walaupun keseluruhan acara malam penutupan itu berbiaya besar, konser Cokelat tersebut kecil sekali porsinya dibandingkan rangkaian kegiatan besar HMIF pekan itu. Akan tetapi, penutupan itu memang sengaja dibuat meriah & megah layaknya pamungkas sebuah event besar, seingat saya, rekan yang menang tender untuk membangun set acara tersebut mengaku dibayar Rp 20 juta.

Sulitnya Konsisten
Memang sulit untuk konsisten dalam bersikap terhadap pementasan2 musik. Pasar Seni ITB tahun 2000 menampilkan Geger yang anggotanya perempuan semua dengan kostum minimalis di panggung jalan depan masjid Salman: Tidak mengundang protes. Sebuah panggung lagi di lapangan sipil menampilkan grup underground dengan vokalis diikat seperti hewan liar. Sebuah tombol digunakan untuk sewaktu-waktu mengalirkan kejut elektrik ke tubuhnya. Jika listrik mengaliri tubuhnya ia akan mengerang liar atau mengumpat, berontak dari ikatannya meningkahi musik elektronik band-nya (praktekan saja sendiri: pasang musik cadas, pegang jala-jala! ), untung saja nyawa di tangan Tuhan.

Kalau soal sponsor rokok, Luluk dengan Wayang on The Bus-nya bisa tur Indonesia karena digaet Djarum. Kalo ngga begitu, bus setir kiri hasil hibah itu bakal cuma jadi bangkai di parkiran GKJ. Waktu Luluk-Djarum singgah di Plaza Widya (01/12/03) juga adem ayem saja, padahal dibuat 2 stand rokok lengkap dengan pasukan SPG yang direkrut 80% untuk sex appeal-nya. Jika pertanyaannya sekedar, "Tayang di TV/tidak?". Jawab: Luluk juga masuk TV, TVRI setidaknya.

Kembali ke aksi protes 2 tahun lalu, esoknya pernyataan sikap muncul. Wajarnya pernyataan resmi, harus logis, diangkat isu hedon. Alasan hedon adalah alasan paling tidak logis sedunia. Ketika Luluk dkk. asyik-mahsyuk berimprov mereka masuk ke state emosi yang disebut flow, ini mirip2 trance ~ kerasukan, kurang nikmat apalagi dunia, ini jelas hedon.

Kalau begitu kita bikin pemisah lain: kalau penampilnya adalah seniman yang sekedar 'make a living', tidak ada di arus utama musik industri, maka tidak perlu ada protes. Akan tetapi, situasi dua tahun lalu akan berbeda jika yang tampil Iwan Fals. Padahal sama saja dengan Cokelat, Iwan juga 'make a fortune' di industri. Menghitung budget yang dihamburkan sebuah acara juga membuat kita berakhir pada inkonsistensi lagi. Ornamen-ornamen ITB Fair saja makan dana yang sama besar dengan acara HMIF lampau.

Lantas apakah yang kemudian bisa memicu protes. Peserta aksi 2 tahun yang lalu, bukannya mereka tidak suka Cokelat. Akhirnya kita harus pakai perasaan: atmosfer yang dibangun acara malam 2 tahun lalu itu sungguh tidak menyenangkan buat yang merasa menjagai nilai-nilai kampusnya, yang terusik, ketika massa keramaian malam mingguan di Dago pindah masuk kampus.

Nilai Persepsi
Jantung saya berdegup lebih kencang ketika Marcell mengajak penonton mahasiswa berjingkrak. Sebenarnya tari tradisi yang berjingkrak-jingkrak juga hidup di Ind. Jingkrak yang satu tertangkap kamera, jadilah ia objek eksotis antropologi. Tidak ada sorotan khusus karena yang tradisi dianggap adiluhung, tidak banyak yang berani mengkritik. Sementara jingkraknya mahasiswa ITB, tertangkap kamera, bisa jadi garapan tim kreatif Kupas Tuntas, Silet atau Fenomena kalau mereka benar-benar kreatif.

Korporat besar mengeluarkan dana banyak untuk membangun nilai persepsi lewat brand. Pertanyaan sulit harus dijawab: 'How to educate the market?'; desus yang jelek lebih cepat menyebar, 'bakso tidak enak' akan tersiar 'word of mouth' 80% lebih cepat daripada kabar 'bakso enak'. Organizer 'Miss ITB' dulu juga mengahadapi kesulitan yang sama, harus mengubah citra: acara Miss-nya akan berakhir seperti pageant lainnya. Setelah sekali mencoba mengubah citra lewat acara yang mengundang A. Sondakh, Putri Indonesia, Miss ITB tidak pernah lagi terdengar kabarnya. Sebenarnya akan lain kasusnya kalau tidak pakai embel-embel ITB. ITB adalah brand dan punya hantu yang namanya persepsi masyarakat. Dihantui terus oleh persepsi orang, merasa dituntut lebih, menghasilkan perasaan punya kelebihan (arogan), ujung-ujungnya (sering) tindakan berlebih-lebihan.

Musik pun kalau mau menggandeng ITB menjadi tidak berdiri sendiri sebagai barang apresiasi. Musik tidak bebas nilai: dilekatkan dengan istilah 'ngak ngik ngok imperialis', Koes bersaudara terpaksa dibui karena musik. Konflik orang musik sendiri bisa berakhir dengan baku hantam: A. Piazzolla harus melayani adu jotos dengan penonton yang menganggapnya merendahkan orkes-simfoni dengan menyertakan instrumen bandoneon. Contoh lagi: Haji Oma vs Inul; asosiasi orang tua vs Britney. Serba subjektif? Slamet A. Syukur ketika disebut subjektif membela diri, "Memangnya mau dikembalikan ke abad XX! (serba pembuktian objektif)".

Ketika Dygta naik pentas, saya celingak-celinguk, berharap mendapati tanda-tanda bakal ada rombongan aksi yang sama seperti 2 tahun lalu karena firasat sering benar. Tidak ada apa-apa! Wajah-wajah yang sudah tidak saya kenal lagi. Mungkin sudah ada keseimbangan nilai yang baru, ada perubahan. Perubahan biasanya berarti ketidaknyamanan. Lalu saya pergi. Ternyata terjadi juga.
Marcell naik pentas, saya balik lagi dari lab ke venue ClasAkustik, meyakinkan diri bahwa musik bebas nilai; ternyata mau apresiasi tanpa mengindahkan orang lain juga ada ongkosnya. Tanpa sempat melihat insiden malam harinya, Marcell bilang, "Cepat pulang!" Saya nurut aja, malam itu dingin banget, pulang, bantal bilang, "BCG!", pulas, mencium bantal, memeluk guling, ngiler :P

This page is powered by Blogger    Powered by VLSI